LINGUISTIK UMUM
Makalah Fonologi
Makalah disusun untuk memenuhi syarat tugas mata
kuliah
Linguistik Umum
Dosen : Noor Cahaya, M.Pd
Disusun oleh Kelompok I:
1. Alya
Dhania Riadyni (1610116320003)
2. Bayu
Krisna Aji (1610116310005)
3. Devi
Lestari (1610116320006)
4. Eli
Yanti (1610116320007)
5. Lusi
Anggita Aliani (1610116320018)
6. Sandra
Sucipta Rimba (1610116320029)
7. Sinangkung
Rohmat (A1B114247)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan mengucap puji dan
syukur kepada Allah Swt. yang Maha Esa karena berkat rahmat,taufik,dan
hidayah-Nya memberikan penulis kemudahan sehingga dapat menyusun dan
menyelesaikan tugas mata kuliah Linguistik Umum TIK mengenai hasil pembuatan
makalah yang berjudul “Fonologi” yang
telah penulis selesaikan pada hari Jumat, 4 November 2016. Tanpa
pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak dapat menyelesaikannya dengan baik.
Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda tercinta kita yakni
Nabi Muhammad Saw.
Ibarat tiada gading yang tak retak dalam penyusunan makalah ini, tidak
sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun, penulis menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan
dosen pembimbing dan rekan – rekan mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Noor
Cahaya, M.Pd selaku dosen pembimbing Linguistik Umum yang telah memberikan
bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati dalam
pembuatan makalah ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa pembuatan makalah ini
jauh dari kata sempurna mungkin ada kekurangan isi maupun yang lainnya. Itu
semua karena kedangkalan dan sangat minimnya ilmu yang penulis miliki. Penulis
juga meminta maaf apabila kata–kata dalam makalah ini ada kesalahan atau kurang
tepat. Sehingga penyusun mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas perhatiannya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, menambah pengalaman, menjadi referensi bagi para pelajar, menambah
cakrawala pengetahuan kita mengenai Linguistik Umum Fonologi khususnya bagi
penulis, kita dan semuanya sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Banjarmasin, November 2016
DAFTAR
ISI
Hal
KATA
PENGANTAR ............................................................................................i
DAFTAR
ISI ..........................................................................................................ii
BAB
I PENDAHULUAN .....................................................................................1
A. Latar
Belakang
.....................................................................................1
B. Rumusan
Masalah ................................................................................3
C. Tujuan
Penulisan ................. ................................................................3
D. Manfaat
Penulisan ................................................................................4
BAB
II PEMBAHASAN .......................................................................................5
A. Sejarah
Fonologi ..................................................................................5
B. Batasan dan
Kajian Fonologi ...............................................................7
C. Beberapa
Pengertian Mengenai Tata Bunyi..........................................6
D. Kajian
Fonetik ......................................................................................7
E. Kajian
Fonemik
...................................................................................
7
F. Gejala
Fonologi Bahasa Indonesia ......................................................
8
BAB
III PENUTUP .............................................................................................10
A. Kesimpulan
.........................................................................................10
B. Saran
...................................................................................................10
DAFTAR
PUSTAKA ..........................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bahasa
adalah suatu sistem lambang bunyi yang dipakai manusia untuk tujuan komunikasi.
Oleh karena itu pengajaran Bahasa Indonesia pada hakekatnya mempunyai ruang
lingkup dan tujuan yang menumbuhkan kemampuan mengungkapkan pikiran dan
perasaan dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar agar seseorang dapat
berkomunikasi dengan baik dan benar.
Dalam
kehidupan sehari-hari masih banyak masyarakat yang memakai bahasa Indonesia
tetapi tuturan atau ucapan daerahnya terbawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia.
Tidak sedikit seseorang yang berbicara dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan
lafal atau intonasi Jawa, Batak, Bugis, Sunda dan lain-lain. Hal ini
dimungkinkan karena sebagian besar bangsa Indonesia memposisikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua. Sedangkan bahasa pertamanya adalah bahasa
daerah masing-masing. Bahasa Indonesia hanya digunakan dalam komunikasi
tertentu, seperti dalam kegiatan-kegiatan resmi.
Selain
itu, dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya di Sekolah Dasar, istilah
yang dikenal dan lazim digunakan guru adalah istilah “huruf” walaupun yang
dimaksud adalah “fonem”. Mengingat keduanya merupakan istilah yang berbeda,
untuk efektifnya pembelajaran, tentu perlu diadakan penyesuaian
dalam segi penerapannya. Oleh karena itu, untuk mencapai suatu ukuran lafal
atau fonem baku dalam bahasa Indonesia, sudah seharusnya lafal-lafal atau
intonasi khas daerah itu dikurangi jika mungkin diusahakan dihilangkan.
Banyak
kajian teori mengenai bahasa ini. Salah satunya kajian tentang fonologi.
Sebagai calon pendidik selayaknya memahami kajian tentang fonologi ini untuk
dijadikan pedoman mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia. Penulis merasa perlu
untuk menyusun makalah ini agar dapat membantu penulis pada khususnya dan
pembaca pada umumnya untuk mengetahui tentang batasan dan kajian fonologi,
beberapa pengetian mengenai tata bunyi, kajian fonetik, kajian fonemik, gejala
fonologi Bahasa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang
menjadi rumusan masalahnya, yaitu:
1.
Bagaimana batasan dan kajian fonologi?
2.
Bagaimanaartitata
bunyi (fonem dan alofon)?
3.
Bagaimana yang dimaksud dengan kajian fonetik?
4.
Bagaimana yang dimaksud dengan kajian fonemik?
5.
Bagaimana gejala fonologi Bahasa Indonesia
C. Tujuan
Penulisan
Adapun beberapa tujuan dalam
penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Menjelaskan batasan dan kajian fonologi,
2.
Menjelaskanbeberapa pengetian mengenai tata bunyi
(fonem dan alofon),
3.
Menjelaskankajian fonetik,
4.
Menjelaskan
kajian fonemik,
5.
Menjelaskan gejala fonologi Bahasa Indonesia.
D. Manfaat
Penulisan
Adapun
beberapa tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Meningkatkan pemahaman batasan dan kajian fonologi,
2.
Meningkatkan pemahaman beberapa pengetian mengenai
tata bunyi (fonem dan alofon),
3.
Meningkatkan
pemahaman kajian fonetik,
4.
Meningkatkan
pemahaman kajian fonemik,
5.
Meningkatkan
pemahaman gejala fonologi Bahasa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Fonologi
Sejarah
fonologi dapat dilacak melalui riwayat pemakaian istilah fonem dari waktu ke
waktu. Pada sidang Masyarakat Linguistik Paris, 24 mei 1873, Dufriche
Desgenettes mengusulkan nama fonem, sebagai padanan kata Bjm Sprachault.
Ferdinand De Saussure dalam bukunya “ Memorie Sur Le Systeme Primitif Des
Voyelles Dan Les Langues Indo-Europeennes” ‘memoir tentang sistem awal vokal
bahasa – bahasa Indo eropa ‘ yang terbit pada tahun 1878, mendefinisikan fonem
sebagai prototip unik dan hipotetik yang berasal dari bermacam bunyi dalam
bahasa –bahasa anggotanya. Sejarah fonologi dalam makalah ini akan lebih
mengkhususkan membahas mengenai istilah fonem. Gambaran mengenai perkembangan
fonologi dari waktu ke waktu dapat dilihat lewat berbagai aliran dalam
fonologi.
a. Aliran
Kazan
Dengan
tokohnya Mikolaj Kreszewski, aliran ini mendefinisikan fonem sebagai satuan
fonetis tak terbagi yang tidak sama dengan antropofonik yang merupakan kekhasan
tiap individu. Tokoh utama aliran kazan adalah Baudoin de Courtenay (1895).
Menurut linguis ini, bunyi – bunyi yang secara fonetis berlainan disebut
alternan, yang berkerabat secara histiris dan etimologis. Jadi, meskipun
dilafalkan berbeda, bunyi – bunyi itu berasal dari satu bentuk yang sama. Pada
1880, Courtenay melancarkan kritiknya terhadap presisi atas beberapa fona yang
dianggapnya tidak bermanfaat. Pada 1925, paul passy mempertegas kritik
tersebut.
Ferdinand
De Saussure. Dalam bukunya “Cours de Linguistique Generale” Kuliah Linguistik
umum’, Saussure mendefinisikan fonologi sebagai studi tentang bunyi – bunyi
bahasa manusia.dari definisi tersebut tercermin bahwa bunyi bahasa yang
dimaksud olehnya hanyalah unsure – unsure yang terdengar berbeda oleh telinga
dan yang mampu menghasilkan satuan – satuan akustik yang tidak terbatas dalam
rangkaian ujaran. Jadi dapat dikatakan bahwa Saussure menggunaklan criteria
yang semata – mata fonetis untuk menggambarkan fonem dan memempatkannya hanya
pada poros sintagmatik.Lalu Saussure mengoreksinya dan mengatakan bahwa pada
sebuah kata yang penting bukanlah bunyi melainkan perbedaan fonisnya yang mampu
membedakan kata itu dengan yang lain.
Dengan
konsep – konsepnya, meskipun tidak pernah mencantumkan istilah struktur maupun
fungsi, Saussure dianggap telah membuka jalan terhadap studi fonologi yang
kemudian diadaptasi oleh aliran Praha.
b.
Aliran Praha
Kelahiran
fonologi ditandai dengan “Proposition 22” ‘Usulan 22’ yang diajukan oleh R.
Jakobson, S. Karczewski dan N. Trubetzkoy pada konggres Internasional I para
linguisdi La Haye, april 1928. Pada 1932 jakobson mendefinisikan fonem sebagai
sejumlah ciri fonis yang mampu membedakan bunyi bahasa tertentu dari yang lain,
sebagai cara untuk membedakan makna kata. Jadi konsep fonem merupakan sejumlah
ciri pembeda (ciri distingtif).
c. Aliran
Amerika
Tokoh
aliran ini adalah Edward Sapir (1925). Seorang Enolog dan linguis yang terutama
memeliti bahasa – bahasa Indian Amerika. Menurutnya, sistem fonologi bersifat
bersifat fungsional. Kiprah Sapir diteruskan oleh penerusnya dari Yale, Leonard
Bloomfield, yang karyanya “Language” menjadikan dirinya bapak linguistik
Amerika selama 25 tahun. Pada buku itu Bloomfield menjelaskan banyak hal
tentang definisi–definisi mutakhir tentang fonem, istilah ciri pembeda, zona
penyebaran fonem, kriteria dasar dalam menentukan oposisi fonologis dan lain –
lain.
Sifat
Behaviouris dan Antimentalis Bloomfield mengantarkannya pada konsepsi tentang
komunikasi sebagai perilaku dimana sebuah stimulus (ujaran penutur) memunculkan
reaksi mitra tutur. Menurutnya, yang penting dalam bahasa adalah fungsinya
untuk menghubungkan stimulus penutur dengan reaksi mitra tutur. Agar fungsi itu
terpenuhi, pada tataran bunyi cukuplah kiranya jika setiap fonem berbeda dengan
yang lainnya. Sehingga zona penyebaran fonem dan sifat akustiknya bukanlah
sesuatu yang penting. Pada tataran fonologi umum, pionir fonologi Amerika
lainnya, W.F Twaddell pada 1935 menerbitkan monografi. Di dalamnya Twaddell
menegaskan bahwa satuan – satuan fonologis bersifat relasional. Daniel
Jones dan Aliran Fonetik Inggris Sejak 1907 Daniel Jones mengajar fonetik di
University of London. Setelah itu ia kemudian lebih banyak menggelti praktek
fonologi di Inggris. Kegiatannya di jurusan fonetik di University of college
lebih difokuskan pada transkripsi fonetis dan pengajaran pelafalan bahasa –
bahasa dunia. Perhatiannya pada dua hal itu membuat dirinya memiliki konsep
tersendiri tentang fonem. Pada 1919, dalam “ Colloquial Sinhalese Reader” yang
diterbitkannya bersama H.S Parera, Jones memberikan definisi fonem yang berciri
distribusional.
Terinspirasi
oleh Baudoin de Courtenay, yang memakai fonem sebagai realitas psikofonetis,
Jones menggambarkan fonem sebagai realitas mental. Maksudnya, dalam studi
tentang sifat alamiah fonem, kita juga dapat menggunakan baik intuisi, rasa
bahasa maupun cara – cara lain yang bersifat psikologis. Hal ini menunjukkan
bahwa Jones lebih suka pada sifat fonem, alih – alih fungsinya. Dengan sudut
pandang seperti itu sebenarnya Jones sudah memasuki daerah kerja fonologi,
dalam analisisnya ia memasukkan data fonologi tertentu, namun dengan
menyingkirkan sudutpandangfonologis.
Perkembangan Fonologi Tahun 1960-an
sampai 1970-an menandai dimulainya kajian – kajian empiris tentang bahasa
Indonesia maupun bahasa – bahasa lain. Contoh karya – karya yang muncul antara
lain :
a)
Artikel tentang fonologi bahasa jawa dan
sistem fonemena dan ejaan (1960) oleh samsuri. Ciri – ciri penelitian pada saat
itu adalah dipengaruhi oleh gerakan deskriptivisme, menganut aliran neo
Bloomfieldian dan bersifat behaviouristik, ketat dalam metodologi dan bahasa
lisan menjadi objek utama.
b)
Lalu pada tahun 1970an masuk konsep
fonem dan wawasan tentang unsur suprasegmental oleh amran halim, dan Hans
Lapoliwa dengan fonologi generatifnya. Namun, untuk mengetahui perkembangan
mutakhir linguistic Indonesia saat ini diperlukan survey lagi yang lebih
mendalam.
B.
Batasan dan
Kajian Fonologi
Istilah fonologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu phone = ‘bunyi’, logos =
‘ilmu’. Secara harfiah, fonologi adalah ilmu bunyi. Fonologi merupakan bagian
dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi. Objek kajian fonologi yang pertama bunyi
bahasa (fon) yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem
yang disebut tata fomen (fonemik).
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik)
yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan perubahannya.
Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional.
C. Beberapa
Pengetian Mengenai Tata Bunyi
1. Fonem
Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai
satuan bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki
fungsi untuk membedakan makna.
Fonem dalam bahasa mempunyai beberapa macam lafal yang
bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Contoh fonem /t/ jika
berada di awal kata atau suku kata, dilafalkan secara lepas. Pada kata /topi/,
fonem /t/ dilafalkan lepas. Namun jika berada di akhir kata, fonem /t/ tidak
diucapkan lepas. Bibir kita masih tetap rapat tertutup saat mengucapkan bunyi,
misal pada kata /buat/.
2. Alofon
Varian fonem berdasarkan posisi
dalam kata, misal fonem pertama pada kata makan dan makna secara fonetis
berbeda. Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti dinamakan alofon.
Alofon dituliskan diantara dua kurung siku […]. Kalau[p] yang lepas kita tandai
dengan [p] saja, sedangkan [p] yang tak lepas kita tandai dengan [p>]. Maka
kita dapat berkata bahwa dalam Bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai dua alofon,
yakni [p] dan [p>].
D. Kajian Fonetik
1. Klasifikasi
Bunyi
a. Berdasarkan
ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara.
1.)
Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak
mengalami rintangan. Pada pembentukan vokal tidak ada artikulasi.
2.)
Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan
menghambat arus udara pada sebagian alat ucap. Dalam hal ini terjadi
artikulasi.
3.)
Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis
termasuk konsonan, tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum membentuk
konsonan murni.
b. Berdasarkan
jalan keluarnya arus udara.
1.) Bunyi nasal,
yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar melalui
rongga mulut dan membuka jalan agar arus udara dapat keluar melalui rongga
hidung.
2.) Bunyi oral, yaitu bunyi yang
dihasilkan dengan jalan mengangkat ujung anak tekak mendekati langit-langit
lunak untuk menutupi rongga hidung, sehingga arus udara keluar melalui mulut.
c. Berdasarkan
ada tidaknya ketegangan arus udara saat bunyi di artikulasikan.
1.) Bunyi keras
(fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada waktu di artikulasikan disertai ketegangan
kuatarus.
2.) Bunyi lunak
(lenis), yaitu bunyi yang pada waktu di artikulasikan tidak disertai ketegangan
kuatarus.
d. Berdasarkan
lamanya bunyi pada waktu diucapkan atau diartikulasikan
1.) Bunyi
panjang
2.) Bunyi pendek
e. Berdasarkan
derajat kenyaringannya
Bunyi dibedakan menjadi bunyi nyaring dan bunyi tak
nyaring. Derajat kenyaringan ditentukan oleh luas atau besarnya ruang resonansi
pada waktu bunyi diucapkan. Makin luas ruang resonansi saluran bicara waktu
membentuk bunti, makin tinggi derajat kenyaringannya. Begitu pula sebaliknya.
f.
Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata
1.) Bunyi
tunggal, yaitu bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata (semua bunyi
vokal atau monoftong dan konsonan).
2.) Bunyi
rangkap, yaitu dua bunyi atau lebih yang terdapat dalam satu suku kata. Bunyi
rangkap terdiri dari
3.) Diftong
(vocal rangkap) : [ai], [au] dan [oi].
4.) Klaster
(gugus konsonan) : [pr], [kr], [tr] dan [bl].
g.
Berdasarkan arus udara
1.) Bunyi
egresif, yaitu bunyi yang di bentuk dengan cara mengeluarkan arus udara dari
dalam paru-paru. Bunyi egresif di bedakan menjadi :
a)
Bunyi egresif pulmonik : di bentuk dengan mengecilkan
ruang paru-paru,otot perut dan rongga dada.
b)
Bunyi egresif glotalik : terbentuk dengan cara
merapatkan pita suara sehingga glottis dalam keadaan tertutup.
2.) Bunyi ingresif,
yaitu bunyi yang di bentuk dengan cara menghisap udara ke dalam paru-paru.
a)
Ingresif glotalik : pembentukannya sama dengan egresif
glotalik tetapi berbeda pada arus udara.
b)
Ingresif velarik : di bentuk dengan menaikkan pangkal
lidah di tempatkan pada langit-langit lunak. Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia
merupakan bunyi egresif.
2. Pembentukan
Vokal, Konsonan, Diftong, dan Kluster
a. Pembentukan Vokal
Vokal
dibedakan berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak,
bentuk bibir, dan strikturnya. Berikut ini jenis-jenis vokal berdasarkan cara
pembentukannya, yakni:
1.) Berdasarkan
bentuk bibir : vokal bulat, vokal netral, dan vokal tak bulat;
2.) Berdasarkan
tinggi rendahnya lidah : vokal tinggi, vokal madya (sedang), dan vokal rendah;
3.) Berdasarkan
bagian lidah yang bergerak : vokal depan, vokal tengah, dan vokal belakang;
4.) Berdasarkan
strikturnya : vokal tertutup, vokal semi-tertutup, vokal semi-terbuka, dan
vokal terbuka.
b. Pembentukan Konsonan
Pembentukan
konsonan didasarkan pada empat faktor, yakni daerah srtikulasi, cara
artikulasi, keadaan pita suara, dan jalan keluarnya udara. Berikut ini
klasifikasi konsonan tersebut:
1.)
Berdasarkan daerah artikulasi: konsonan bilabial,
labio dental, apikodental, apikoalveolar, palatal, velar, glotal, dan laringal;
2.)
Berdasarkan cara artikulasi : konsonan hambat,
frikatif, getar, lateral, nasal, dan semi-vokal;
3.)
Berdasarkan keadaan pita suara : konsonan bersuara dan
konsonan tak bersuara;
4.)
Berdasarkan jalan keluarnya udara : konsonan oral dan
konsonan nasal.
c. Pembentukan Diftong
Diftong
adalah dua buah vokal yang berdiri bersama dan pada saat diucapkan berubah
kualitasnya. Perbedaan vokal dengan diftong adalah terletak pada cara hembusan
nafasnya.
Diftong dalam bahasa indonesia
adalah sebagai berikut:
1.)
Diftong /au/, pengucapannya [aw]. Contohnya :
[harimaw]
/harimau/
[kerbaw]
/kerbau/
2.)
Diftong /ai/, pengucapannya [ay]. Contohnya :
[santay]
/santai/
[sungay]
/sungai/
3.)
Diftong /oi/, pengucapannya [oy]. Contohnya :
[amboy]
/amboi/
[asoy]
/asoi/
d. Pembentukan Kluster
Gugus atau
kluster adalah deretan konsonan yang terdapat bersama pada satu suku kata.
1.) Gugus
konsonan pertama : /p/,/b/,/t/,/k/,/g/,/s/ dan /d/.
2.) Gugus
konsonan kedua : /l/,/r/ dan /w/.
3.) Gugus
konsonan ketiga : /s/,/m/,/n/ dan /k/.
4.) Gugus konsonan keduanya adalah
konsonan lateral /l/, misalnya :
(a) /pl/ [pleno]
/pleno/
(b) /bl/ [blaƞko]
/blangko/
(c) Dan begitu
seterusnya hingga konsonan kedua /r/ dan /w/.
5.) Jika tiga konsonan berderet, maka konsonan pertama
selalu /s/, yang kedua /t/,/p/ dan /k/ dan yang ketiga adalah /r/ atau /l/.
Contohnya :
(a) /spr/
[sprey] /sprei
(b) /skr/
[skripsi] /skripsi/
(c) /skl/
[sklerosis] /sklerosis/
E. Kajian Fonemik
Istilah
fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat
fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk membedakan makna. Fonem
juga dapat dibatasi sebagai unit bunyi yang bersifat distingtif atau unit
bunyi yang signifikan.
Dalam hal
ini perlu adanya fonemisasi yang ditujukan untuk menemukan bunyi-bunyi yang
berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut. Dengan demikian fonemisasi itu
bertujuan untuk
1.
Menentukan struktur fonemis sebuah bahasa, dan
2.
Membuat ortografi yang praktis atau ejaan sebuah
bahasa.
Untuk
mengenal dan menentukan bunyi-bunyi bahasa yang bersifat fungsional atau fonem,
biasanya dilakukan melalui “ kontras pasangan minimal”.
Dalam hal ini pasangan minimal ialah pasangan bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa (biasanya berupa kata tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda. Sekurang-kurangnya ada empat premis untuk mengenali sebuah fonem, yakni
Dalam hal ini pasangan minimal ialah pasangan bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa (biasanya berupa kata tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda. Sekurang-kurangnya ada empat premis untuk mengenali sebuah fonem, yakni
1.
Bunyi bahasa dipengaruhi lingkungannya
2.
Bunyi bahasa itu simetris,
3.
bunyi bahasa yang secara fonetis mirip, harus digolongkan
ke dalam kelas fonem yang berbeda, dan
4.
bunyi bahasa yang bersifat komplementer harus
dimasukkan ke dalam kelas fonem yang sama.
1. Realisasi
Fonem
Realisasi
fonem adalah pengungkapan yang sebenarnya dari ciri atau satuan fonologis,
yakni fonem menjadi bunyi bahasa. Realisasi fonem erat kaitannya dengan
variasi fonem. Variasi fonem merupakan salah satu wujud pengungkapan dari
realisasi fonem. Secara segmental fonem bahasa Indonesia dibedakan atas vokal
dan konsonan.
2. Variasi
Fonem
Variasi fonem adalah wujud pelbagai manifestasi
bersyarat maupun tak bersyarat dari fonem. Wujud variasi suatu fonem yang
ditentukan oleh lingkungannya dalam distribusi yang komplementer disebut varian
alofonis atau alofon.
F. Gejala Fonologi Bahasa Indonesia
1. Penambahan Fonem
Penambahan fonem pada suatu kata pada umumnya berupa penambahan bunyi
vokal. Penambahan ini dilakukan untuk kelancaran ucapan.
2. Penghilangan
Fonem
Penghilangan fonem adalah hilangnya bunyi atau fonem pada awal, tengah dan
akhir sebuah kata tanpa mengubah makna. Penghilangan ini biasanya berupa
pemendekan kata.
3. Perubahan
Fonem
Perubahan fonem adalah berubahnya bunyi atau fonem pada sebuah kataagar
kata menjadi terdengar dengan jelas atau untuk tujuan tertentu.
4. Kontraksi
Kontraksi adalah gejala yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem
yang dihilangkan. Kadang-kadang ada perubahan atau penggantian fonem.
5. Analogi
Analogi adalah pembentukan suatu kata baru berdasarkan suatu contoh yang
sudah ada (Keraf, 1987:133).
6. Fonem
Suprasegmental
Fonem vokal dan konsonan merupakan fonem segmental karena dapat
diruas-ruas. Fonem tersebut biasanya terwujud bersama-sama dengan ciri
suprasegmentalseperti tekanan, jangka dan nada. Disamping ketiga ciri itu, pada
untaian terdengar pula ciri suprasegmental lain, yakni intonasi dan ritme.
a) Jangka,
yaitu panjang pendeknya bunyi yang di ucapkan. Tanda […]
b) Tekanan,
yaitu penonjolan suku kata dengan memperpanjang pengucapan, meninggikan nada
dan memperbesar intensitas tenaga dalam pengucapan suku kata tersebut.
c) Jeda atau
sendi, yaitu cirri berhentinya pengucapan bunyi.
d) Intonasi,
adalah cirri suprasegmental yang berhubungan dengan naik turunnya nada dalam
pelafalan kalimat.
e) Ritme,
adalah ciri suprasegmental yang berhubungan dengan pola pemberian tekanan pada
kata dalam kalimat.
Pada tataran kata, tekanan, jangka, dan nada dalam
bahasa Indonesia tidak membedakan makna. Namun, pelafalan kata yang menyimpang
dalam hal tekanan, dan nada kan terasa janggal.
Jenis-jenis perubahan fonem bunyi
tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi,
zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis, sebagaimana
uraian berikut.
a) Asimilasi
Asimilasi
adalah perubahan bunyi dari dua hal bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama
atau hampir sama. Hal ini terjadi karena
bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk
saling mempengaruhi atau dipengaruhi.
Dalam
bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentangdiucapkan
apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental.
Bunyi nasal pada tendang diucapkan
apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar.
Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang sama.
b) Disimilasi
Disimilasi
adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang
tidak sama atau berbeda. Contoh :
Kata bahasa Indonesia belajar [bǝlajar] berasal dari
penggabungan prefix ber [bǝr] dan
bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya,
kalau tidak ada perubahan menjadi berajar
[bǝrajar]. Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan
atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bǝlajar]. Karena perubahan
tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/
dan [l] merupakan alofon dari fonem
/l/, maka disebut disimilasi fonemis.
c) Modifikasi
vokal
Modifikasi
vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang
mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan kedalam peristiwa
asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan.
d) Netralisasi
Netralisasi
adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untk
mejelaskann kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan
minimal [baraƞ] ‘barang’−[parang] ‘paraƞ’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa
Indonesia ada fonem /b/ dan /p/.Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda
antara /b/ dan /p/ bisa batal setidak-tidaknya bermasalah karena dijumpai yang
sama. Minsalnya, fonem /b/ pada silaba akhir pada kata adab dan sebab diucapkan
[p’]: [adap] dan [sǝbab’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Mengapa terjadi demikian? Karena
konsonan hambatan letup bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda.
Ketika dinetralisasikan menjadi hambatan tidak bersuara, yaitu [p’], sama
dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.
e) Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi
fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa
ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa
Indonesia, asal saja tidak menggangu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa
ini terus dikembangkan karena secara diam-diam telah didukung dan disepakti
oleh komunitas penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai
pemakaian katatak ataundak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap
tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan
dan kehematan, gejala itu terus berlangsung. Zeroisasi dengan model
penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu : aferesis, apokop, dan sinkop.
f) Metatesis
Metatesis
adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua
bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami
metatesis ini tidak banyak.
g) Diftongisasi
Diftongisasi
adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau
vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal
rangkap ini masih diucapkan dalam satu
puncak kenyaringan sehingga tetap dalam satu silaba.
h) Monoftongisasi
Monoftongisasi
yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) menjadi vokal
(monoftong) . (Muslich 2012 : 126). Peristiwa penunggalan vokal ini banyak
terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap
bunyi-bunyi diftong.
Monoftongisasi
adalah proses perubahan dua buah vokal atau gugus vokal menjadi sebuah vokal.
Poses ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia akibat dari ingin memudahkan
ucapan. (Chaer 2009 : 104).
Monoftongisasi
adalah proses perubahan bentuk kata yang berujud sebuah diftong berubah menjadi
sebuah monoftong. Jadi, monoftongisasi adalah proses perubahan dua bunyi vokal
menjadi sebuah vokal.
Contoh:
Ramai
menjadi (rame)
Kalao menjadi
(kalo)
Danau menjadi
(danau)
Satai menjadi
(sate)
Damai menjadi
(dame)
Sungai menjadi
(sunge)
i)
Anaptiksis
Anaptiksis
atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal
tertentu di antara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa
ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi
vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. (Muslich 2012 : 126).
Anaptiksis
adalah proses penambahan bunyi vokal di antara dua konsoan dalam sebuah kata;
atau penambahan sebuah konsonan pada sebuah kata tertentu. (Chaer 2009 : 105).
Anaptiksis
(suara bakti) adalah proses perubahan
bentuk kata yang berujud penambahan satu bunyi antara dua fonem dalam sebuah
kata guna melancarkan ucapan.
Jadi, anaptikis
adalah perubahan bentuk kata dengan
menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan.
Contoh:
Putra
menjadi putera
Putri
menjadi puteri
Bahtra
menjadi bahtera
Srigala menjadi
serigala
Sloka menjadi seloka
Anaptikis
ada tiga yaitu:
Protesis
adalah proses penambhan bunyi ada awal
kata. Misalnya:
Mas
menjadi emas
Mpu
menjadi empu
Tik
menjadi ketik
Lang
menjadi elang
Epentesis
adalah proses penambahan bunyi pada tengah kata. Misalnya:
Kapak
menjadi kampak
Sajak
menjadi sanjak
Upama
menjadi umpama
Beteng
menjadi benteng
Paragog
adalah proses penambahan bunyi pada posisi akhir kata. Misalnya:
Huubala
menjadi hulubalang
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fonologi
adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses
terbentuknya dan perubahannya. Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan
fungsional.
Istilah
fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat
fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk membedakan makna. Varian
fonem berdasarkan posisi dalam kata, misal fonem pertama pada kata makan dan
makna secara fonetis berbeda. Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti
dinamakan alofon.
Kajian
fonetik terbagi atas klasifikasi bunyi yang kebanyakan bunyi bahasa Indonesia
merupakan bunyi egresif. Dan yang kedua pembentukan vokal, konsonan, diftong,
dan kluster.
Dalam hal
kajian fonetik, perlu adanya fonemisasi yang ditujukan untuk menemukan
bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut. Dengan
demikian fonemisasi itu bertujuan untuk
1.)
Menentukan struktur fonemis sebuah bahasa, dan
2.)
Membuat ortografi yang praktis atau ejaan sebuah
bahasa.
Gejala fonologi Bahasa Indonesia termasuk di dalamnya
yaitu penambahan fonem, penghilangan fonem, perubahan fonem, kontraksi, analogi,
fonem suprasegmental. Pada tataran kata, tekanan, jangka, dan nada dalam bahasa
Indonesia tidak membedakan makna. Namun, pelafalan kata yang menyimpang dalam
hal tekanan, dan nada kan terasa janggal.
B. Saran
Adapun saran
yang dapat penulis sampaikan yaitu kita sebagai calon pendidik, harus selalu
menggali potensi yang ada pada diri kita. Cara menggambarkan potensi dapat
dilakukan salah satunya dengan cara mempelajari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Widodo.
2004. Fonologi Bahasa Jawa. Semarang
Alwi, Hasan (Peny.) 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana,
Harimurti, 1982. Kamus Linguistik.
Jakarta: PT Gramedia.
Lass, Roger. 1988. Fonologi (Terj.) Warsono. Cambridge:
Cambridge University Press.
Marsono,
1986. Fonetik. Yogyakarta: UGM Press.
Parera, Jos
Daniel. 1983. Fonetik dan Fonemik.
Ende, Flores: Nusa Indah.
Samsuri,
1978. Analisa Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Yakop Colin and John Clark, 1991. Introduction to Phonetics and Phonemics.
Cambridge: Basil Black Well, Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar